Ciri Khas Bahasa Sastra (Stilistika)


Sastrawan menyampaikan suatu gagasan melalui karyanya (media ekspresi), ada ciri-ciri bhsa sastra, diantaranya adlah sbg bhsa emotif & bersifat konotatif sbg kebalikan bhsa nonsastra, khususnya bhs ilmiah yg rasional & denotatif. Namun tentang pencirian itu kiranya masih perlu penjelasan (lihat Wellek & Warren, 1989: 22-23). Yg pasti, penggunaan bhsa dlm karya sastra merupakan bagian yg tak terpisahkan dari dunia makna & citraan serta suasana yg akan dituangkan oleh pengarang. Penggunaan bhsa dlm karya sastra itu merupakan sasaran kajian Stilistika (Aminuddin, 1995: 44; bdk. Satoto, 1995: 17). Dlm berbagai penyimpangan, pembaruan & keaslian dlm pengungkapan kebhsaan karya sastra itulah Stilistika memiliki peran sentral.

Secara rinci, bhsa sastra memiliki sifat antara lain: emosional, konotatif, bergaya (berjiwa), & ketdklangsungan ekspresi. Emosional, berarti bhsa sastra mengandung ambiguitas yg luas ykni penuh homonim, manasuka atau kategori-kategori tak rasional; bhsa sastra diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan & asosiasi-asosiasi. Bhsa sastra konotatif, artinya bhsa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial (Wellek & Warren, 1989: 22-25).

Sifat bhsa sastra yg lain dapat dilihat dari segi gaya bhsa. Gaya bhsa merupakan bhsa yg digunakan secara khusus utk menimbulkan efek tertentu, khususnya efek estetis (Pradopo, 1997: 40). Keraf (1991: 113) menegaskan, bahwa gaya bhsa disusun utk mengungkapkan pikiran secara khas yg memperlihatkan perasaan jiwa & kepribadian penulis. Gaya bhsa itu adlah cara yg khas dipakai seseorang utk mengungkapkan diri pribadi (Hartoko & Rahmanto, 1986: 137).

Dapat ditambahkan bahwa bhsa sastra memiliki ciri penting ykni ketaklangsungan ekspresi. Riffaterre (1978: 1) menyatakan bahwa puisi itu ekspresi yg tdk langsung. Meskipun teori Riffaterre ini dlm hubungannya dg puisi, hal ini berlaku pula bagi prosa atau fiksi. Misalnya, novel Ahmad Tohari Bekisar Merah adlah ketaklangsungan ekspresi. Yg dimaksud Bekisar Merah dlm novel itu adlah tokoh utama Lasi, yg dikiaskan sebagai ‘bekisar merah’, blasteran ayam kampung & ayam hutan, yg parasnya indah & penampilan fisiknya menarik, utk hiasan rumah & diperjualbelikan. Lasi dikiaskan demikian, karena dia adlah anak blasteran lelaki Jepang dg perempuan Jawa, parasnya cantik & diperjualbelikan oleh para mucikari & orang berduit utk memperoleh keuntungan material.

Menurut Riffaterre (1978: 2) ketaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh 3 hal, ykni: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), & penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian arti dilakukan dg penggunaan metafora & metonimia. Metafora & metonimia adlah bhsa kiasan pada umumnya yg meliputi perbandingan, personifikasi, sinekdoki, alegori, di samping metafora & metonimia itu sendiri. Penyimpangan arti disebabkan oleh a&ya pemakaian: (1) ambiguitas, (2) kontradiksi, & (3) nonsense. Ambiguitas adlah pemakaian kata, frase atau kalimat yg berarti ganda. Kontradiksi adlah pernyataan berbalikan, menyatakan sesuatu secara terbalik. Kontradiksi ini berupa penggunaan paradoks & ironi. Nonsense adlah bhsa, kata-kata yg secara linguistik tdk memiliki arti, tdk terdapat dlm kamus, tetapi memiliki makna berdasarkan konvensi sastra yg berupa konvensi tambahan (Preminger, 1974: 80).

Adapun penciptaan arti berupa pengorganisasian ruang teks. Karena karya sastra, khususnya puisi berupa karya tertulis, maka dimanfaatkan ruang teks utk menciptakan arti, misalnya berupa enjambment, rima, tipografi & homologue (persejajaran baris). Secara linguistik hal itu tdk memiliki arti, tetapi dlm karya sastra hal itu memiliki makna tertentu.
Bhsa sastra memiliki segi ekspresif yg membawa nada & sikap penulisnya. Bhsa sastra tdk hanya menyatakan & mengungkapkan apa yg dikatakan melainkan juga ingin mempengaruhi sikap pembaca, membujuknya & akhirnya mengubahnya. Bhsa sastra juga menekankan a&ya tanda bhsa ykni simbolisme. Segala jenis teknik dipakai utk menarik perhatian pembaca, misalnya metrum, asonansi & aliterasi serta pola bunyi. Tentu saja, yg terakhir ini terutama pada puisi (Teeuw, 1984: 130).

Sumber: Buku Stilistika (Teori, Metode dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa) Karya Ali Imron Al-Ma'ruf

0 Response to "Ciri Khas Bahasa Sastra (Stilistika)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel